BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 16 April 2009

PENTINGNYA KOMPUTER SEBAGAI ALAT BANTU PEMBELAJARAN
Bayangkanlah seorang karyasiswa yang tertarik untuk mempelajari pusaran air laut. Dengan bantuan komputer dia mulai melakukan pelacakan literatur memanfaatkan fasilitas basis data di perpustakaan universitas dengan mengandalkan kata?kata kunci tentang pusaran air laut. Untuk jasa ini, permasalahannya adalah masalah biaya yang akan sebanding dengan waktu penggunaan komputer. Cara perburuan semacam ini jauh lebih singkat dan menghemat tenaga.Setelah memperoleh bahan?bahan yang diperlukan, sang siswa lalu mendiskusikannya dengan pembimbing dalam pemilihan suatu topik baru dan belum pernah diteliti orang lain. Akhirnya pilihannya jatuh pada studi medan alir pusaran air laut. Untuk maksud tersebut, sang siswa perlu menghitung beberapa parameter yang menyusun suatu medan alir. Hal ini berarti perlunya informasi tentang metoda penghitungan parameter tersebut.Katakanlah, dia berhasil menemukan makalah yang membahas tentang metoda penghitungan parameter yang diusulkan oleh seorang ilmuwan. Dengan menggunakan teknik aljabar komputer MACSYMA [1] atau MAPLE [2], solusi metoda tersebut diujinya. Jika solusi tersebut bisa dibuktikan kebenarannya secara matematis, persoalan lain telah menunggu yakni pengujian beberapa kasus fisis sederhana yang solusi teoritisnya sudah diketahui. Pemilihan suatu kasus sederhana dan umum dari berbagai kemungkinan kasus fisis yang ada merupakan seni tersendiri dan amat ditentukan oleh indera keilmuan sang siswa.Setelah menetapkan pilihan pada suatu kasus tertentu, Kembali lagi komputer berperan dalam proses simulasi yakni membuat data buatan kasus fisis tersebut untuk dihitung parameter?parameter medan alirnya menggunakan metoda di atas. Hasil simulasi ini yang kemudian dicocokkan dengan perhitungan teoritis.Dalam tahap pemrosesan data buatan inilah, timbul beberapa permasalahan diantaranya bising (noise). Bising ini bisa disebabkan oleh proses penghitungan misalnya penggunaan rumus turunan/differensial secara numeris atau bising yang sengaja dicampurkan ke dalam data buatan. Bising buatan ini merupakan antisipasi awal dalam menangani persoalan yang ditemui dalam pengukuran di laut yakni ketidaktepatan penentuan salah satu besaran fisis tertentu. Untuk mengatasi pengaruh kedua jenis bising ini, salah satu teknik yang memodifikasi teknik Transformasi Fourier Cepat dapat diajukan sebagai alat pembuat berbagai jenis filter.Setelah melalui beberapa tahap di atas, sang siswa memperoleh informasi tentang kemampuan dan keterbatasan suatu metoda. Dengan mengetahui kemampuan metoda itu berarti ia atau pemakai lainnya menjadi yakin akan temuan yang diperoleh. Sedangkan menyadari akan keterbatasannya berarti alternatif pemecahan menjadi terbuka lebar melalui upaya penyempurnaan metoda yang sudah ada, pengembangan metoda lainnya atau pun pendayagunaan beberapa teknik pengolahan data yang ada, misalnya teknik penjendelaan [3] dan teknik perata?rataan [4].Contoh diatas merupakan proses belajar yang umum dialami oleh para karyasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri. Tampak berbagai disiplin ilmu dan komputer bergabung membantu proses belajar. Karena proses ini merupakan salah satu komponen pendidikan, kami menyimpulkan bahwa komputer akan memegang peranan penting sebagai alat bantu dalam pendidikan di Indonesia.Penggunaan komputer dalam pendidikan di AS antara lain disebabkan oleh adanya kebutuhan AS utk mengajar murid yang jumlahnya besar dalam waktu yang singkat. Komputer pertama kali dipakai sebagai media pendidikan di pabrik-pabrik, bukan disekolah. Seperti diketahui AS juga pernah secara gencar menggunakan media TV utk mengajar, tetapi hasilnya ternyata tidak seperti yang diinginkan.Mula-mula program belajar dengan komputer (courseware) tampil dalam bentuk latihan soal, tutorial, dan simulasi hukum-hukum alam. Dengan makin berkembangnya kemampuan komputer (misalnya dalam menampilkan gambar), perangkat lunak latihan soal dirasakan tidak memanfaatkan kemampuan sesungguhnya yang ada pada komputer. Keadaan bertambah runcing dengan perkembangan pengetahuan di bidang kognitif, seperti munculnya teori-teori tentang human information processing. Akibatnya para ahli dibidang komputer dan kognitif melihat bahwa komputer untuk pendidikan dapat berfungsi lebih dari sekedar alat mempresentasikan materi pelajaran. Komputer harus dapat meningkatkan cara berfikir seseorang. Hal ini dapat dicapai misalnya dengan bantuan bidang AI (artificial intelligence)."peningkatan cara berfikir" ini dirasakan penting karena perkembangan teknologi yang sangat pesat mengharuskan seseorang untuk mempunyai ketrampilan belajar (cara berfikir) yang tinggi. Dengan kata lain, proses belajar merupakan proses pembentukan pengetahuan bukan proses menhafal pengetahuan. Jadi kita dapat menggunakan pengetahuan yang telah kita miliki untuk membangun pengetahuan yang baru.Dibandingkan dengan media pendidikan yang lain, seperti overhead, tv, dan film, komputer itu lebih memungkinkan utk membuat sang murid menjadi "aktif" bermain-main dengan informasi. Perangkat lunak dapat dibuat agar interaktif. Hal ini sukar dicapai oleh media lainnya. Hal lain yang menarik, perangkat lunak untuk pendidikan dapat di sesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing murid. Hal ini memungkinkan murid-murid untuk berkembang sesuai dengan keadaan dan latar belakang kemampuan yang dimiliki. Murid yang memang mampu belajar dengan kecepatan tinggi tidak perlu menunggu rekan lainnya yang memerlukan waktu lebih dalam memahami materi pelajaran.REFERENSI[1] RAND, R. H., Computer Algebra in Applied Mathematics: An Introduction to MACSYMA. Pitman Pub. inc. Massachusetts., hal. 181, 1984. dan MACSYMA Reference Manual, version 10, vol. 1. 1983. Mathlab Group Laboratory for Computer Science MIT. Symbolics Inc. Massachusetts.[2] B.W. Char, K.O. Geddes, G.H. Gonnet, M.B. Monagan, dan S.M. Watt, MAPLE: Reference Manual, 5th edition, Symbolic Computation Group, Department of Computer Science, University of Waterloo, 1988.[3] F.J. Harris, "On the Use of Windows for Harmonic Analysis with the Discrete Fourier Transform". Proceedings of the IEEE, Vol. 64, no. 1, 51 ? 83, 1978.[4] G.M. Jenkins dan D. G. Watts., Spectra Analysis and Its Applications, Holden?Day, San Fransisco, 1968.source :
http://www.alimbahri.co.cc
http://www.alim-bahri.blogspot.com
Dikirim oleh Admin Tanggal 2008-05-16Jam 03:18:08

Rintisan SBI Hanya Sebatas Label
Laporan: Mohammad NatsirPameran Pendidikan School Pulus Expo (Scope) cukup menggugah. Namun, adanya juga yang meragukan keberadaan sekolah berlabel ?internasional?. Ketika memasuki satu persatu lokasi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di Jawa Timur, tak satupun mencerminkan sebagai lembaga pendidikan bertaraf di era global. Benarkah program rintisan SBI ini hanya sebatas label semata?PEMANDANGAN Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di Jawa Timur ternyata tidak seperti yang tergambarkan dalam pameran pendidikan School Plus Expo (Scope)? Indonesia 2008 di Jakarta. Di provinsi ini, pemandangan serba fasilitas canggih, guru asing dan kurikulum internasional, tidak terlihat seperti yang tergambarkankan.Pandangan masyarakat mengenai RSBI, mungkin tergambarkan sebagai sekolah yang mewah, serba IT (Information Technology), dan diajar beberapa guru dari luar negeri. Ternyata, setelah masuk di beberapa sekolah RSBI, ternyata tak jauh berbeda dengan sekolah pada umumnya. Baik dari sisi fasilitas, hingga guru pengajarnya.Data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Jatim terdapat 105 sekolah RSBI. Rinciannya, SD sebanyak 3 sekolah, SMP terdapat 39 sekolah, SMA tercatat ada 34 sekolah. Sedangkan untuk jenjang SMK terdapat 29 sekolah di Jatim yang berlabel RSBI. Melihat kondisi seperti ini, keberadaan lembaga pendidikan Indonesia untuk bersaing dengan lembaga pendidikan luar negeri akan sulit tercapai. Terlebih lagi, perhatian pemerintah terhadap keberadaan RSBI ini masih terlihat setengah hati. Bisa dibayangkan, pengalokasian anggaran dari dana shering sebesar Rp 600 juta per sekolah per tahun (dalam bentuk barang bukan block grant) hingga kini belum seluruhnya tersalurkan. ?Selama ini kami hanya mendapat bantuan dalam bentuk barang dari pusat senilai Rp 300 juta. Dan ini bukan apa-apa, kalau dipakai kebutuhan RSBI untuk menujuk SBI,? kata Kepala Sekolah SMA Khadijah Surabaya, Suwito.Sementara suntikan dana dari Pemerintah Daerah (Pemda) dan Pemerintah Propinsi (Pemprop) hingga kini belum juga cair. Ironinya, dukungan Pemda dan Pemprop ternyata tidak hanya terjadi 2008 ini, melainkan semenjak munculnya RSBI di Jatim pada tahun 2006 lalu pemerintah tidak memberikan dorongan bantuan sepeser pun.?Sejak RSBI di SMA Khadijah ini disahkan, tak pernah ada kucuran dana dari Pemkot Surabaya dan Pemprop Jatim untuk menunjang RSBI,? tegas Suwito. Pantas saja, kalau dari 129 negara yang tergabung dalam Education For All (EFA) Indonesia masuk pada peringkat 71, di bawah Brunei dan Malaysia. Dewan Pembina Dewan Pendidikan Jatim Daniel M Rasyid menilai sekolah sekolah di Jatim belum saatnya menerapkan pola pemerataan SBI di kabupaten/kota. Pasalnya, kondisi guru di berbagai daerah masih belum siap diarahkan ke sana. Dia sendiri menilai program SBI terkesan menghambur-hamburkan uang. Padahal di kabupaten/kota kesejahteraan guru serta kualitasnya masih rendah. ?Kenapa tidak konsentrasi ke sana. Tuntaskan dulu pendidikan dasar di tiap kabupaten/kota, baru melangkah ke SBI,? ungkapnya. Parahnya, beberapa guru SBI di Surabaya saja belum bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris dengan baik. Padahal sudah menjadi syarat mutlak untuk bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris di kelas. ?Siapa yang tidak bisa kalau hanya mendistribusikan anggaran. Apalagi dialokasikan untuk bangunan sekolah yang mewah seperti SBI. Seharusnya dalam pendistribusian itu harus jelas arahannya untuk pendidikan,? cetus Daniel.Sementara itu, Kepala Dinas P dan K Jatim Rasiyo mengaku cukup kesulitan mendistribusikan dana untuk RSBI. Alasannya, bantuan dana yang sudah dianggarkan 2008 ini sebesar Rp 11 miliar untuk RSBI harus dilakukan dengan sistem lelang. Pasalnya, bantuan tersebut bukan berupa block grand melainkan sumbangan berbentuk alat.?Tahun anggaran 2009 nanti. Volume anggarannya kami tingkatkan menjadi 12 miliar. Dan nanti akan diberikan dengan sistem block grand bukan bantuan barang,? kata Rasiyo.Sedangkan, Kepala Dispendik Kota Surabaya Sahudi mengatakan, sejauh ini belum bisa berbuat apa-apa. Karena, pengajuan anggaran untuk RSBI belum juga mendapat persetujuan dari DPRD Kota Surabaya. Sehingga untuk 2008 ini pihaknya tidak bisa memberikan suntikan dana. ?Tapi RSBI di jenjang SMPN dan SMAN sudah mengantongi ISO 9001 : 2000 standar IWA 2,? jelas Sahudi mengaku optimis pendidikan RSBI akan mampu bersaing dengan pendidikan luar negeri.Sikap optimistis Kepala Dispendik Surabaya ini tampaknya mendapat tanggapan sinis dari kepala sekolah SMAN 5 Surabaya Suhariono. Meski saat ini sekolahnya dipercaya Universitas Cambridge sebagai pelaksana ujian cambridge ternyata belum mampu menciptakan RSBI yang unggul.Bahkan, keinginan Suhariono untuk mewujudkan kelas internasional di Surabaya akhirnya gagal terwujud. Selain karena belum ada pencairan dana dari pemprof dan pemkot. ?Sebenarnya sudah kami gagas sejak 2007 lalu. Tapi kenyataannya sampai sekarang dana RSBI saja masih tersendat-sendat. Sehingga pembentukan kelas internasional tidak bisa diwujudkan,? ujar Suhariono.Sejauh ini, terang Suhariono, rancangan kurikulum internasional, sumber daya manusia dan sarana prasarana rintisan SBI sejauh ini sudah bisa terpenuhi. Namun sayangnya faktor pendukung lainnya dari dana shering hanya pemerintah pusat yang cair. ?Itupun tidak bisa dicairkan dalam bentuk dana untuk dikelola sendiri oleh sekolah. Tapi langsung berupa barang,? katanya.Padahal untuk menerapkan kelas internasional membutuhkan biaya yang sangat mahal. Karena secara otomatis dalam beberapa tahun ajaran pertama pihak sekolah akan mencari guru dari luar sekolah yang mampu menguasai materi sains dengan penjelasan menggunakan bahasa inggris. ?Semua mapel sains (Matematika, Kimia, Fisika, dan Biologi) di kelas internasional menerangkannya harus menggunakan bahasa inggris,? tuturnya.Sementara ini, SDM guru yang dimiliki sekolah belum bisa memenuhi semua kebutuhan ini. ?Sambil jalan, guru-guru sains saat ini dikursuskan bahasa inggris. Sehingga nanti kalau sudah terlaksana semua bisa berjalan sesuai dengan kurikulum yang ada,? ujar Suhariono.Tapi, karena dana RSBI tersebut belum juga cair, Suhariono mengaku takut kalau pihak sekolah akan merugi, kalau program kelas internasional ini dijalankan, karena biayanya cukup tinggi.Ditanya apa perbedaan kelas SBI dan kelas internasional? Suhariono menjelaskan kalau kelas SBI, proses pembelajarannya mengunakan murni bilingual (bahasa Inggris dan bahasa indonesia). Sedangkan kelas internasional murni memakai bahasa Inggris. ?Nantinya dalam pembelajaran kelas internasional murni bahasa inggris. Kecuali pelajaran lokal, seperti PPKn, Bahasa Indonesia,? jelas Suhariono.(sir)

BERITA OPINI LAINNYA Mencermati Kisruh Pemilu di Aceh17-Apr-2009, 11:05:00 WIBPrabowo, the Next Presiden?17-Apr-2009, 03:10:21 WIBTingkah Aneh Caleg dan Kecurangan Pasca Pemilu17-Apr-2009, 03:01:40 WIBMenakar Peluang SBY-JK Versus Prabowo-Akbar16-Apr-2009, 20:55:32 WIBWartawan Menggugat16-Apr-2009, 18:12:50 WIBMusim Paceklik16-Apr-2009, 18:04:22 WIBPKS vs Golkar, Siapakah Pemenangnya?16-Apr-2009, 02:55:56 WIBKualitas DPR Aceh di Masa Depan16-Apr-2009, 00:38:42 WIBLunturnya Dasar Negara di Aceh16-Apr-2009, 00:11:42 WIBPKS Vs Golkar,Siapakah Pemenangnya?15-Apr-2009, 22:52:56 WIB
KabarIndonesia - Oleh: Joss WibisonoSementara di Indonesia berlangsung protes menentang kenaikan harga BBM, minggu lalu beberapa pakar Indonesia pelbagai negara berkumpul di Amsterdam membahas 10 tahun reformasi. Berhasil atau gagalkah Reformasi? Atas inisiatif Institut Kajian Asia Tenggara dan Karibia KITLV di Leiden, Kajian Asia Universitiet van Amsterdam dan situs internet Inside Indonesia di Australia, selama dua hari pekan lalu di Amsterdam berlangsung konperensi "Indonesia 10 Tahun Kemudian." Pakar Indonesia dari Belanda, Jerman, Inggris, Australia, ...' name=description>
Opini Menimbang 10 Tahun ReformasiOleh : Redaksi-kabarindonesia 01-Jun-2008, 12:14:27 WIB - [www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Oleh: Joss WibisonoSementara di Indonesia berlangsung protes menentang kenaikan harga BBM, minggu lalu beberapa pakar Indonesia pelbagai negara berkumpul di Amsterdam membahas 10 tahun reformasi. Berhasil atau gagalkah Reformasi? Atas inisiatif Institut Kajian Asia Tenggara dan Karibia KITLV di Leiden, Kajian Asia Universitiet van Amsterdam dan situs internet Inside Indonesia di Australia, selama dua hari pekan lalu di Amsterdam berlangsung konperensi "Indonesia 10 Tahun Kemudian." Pakar Indonesia dari Belanda, Jerman, Inggris, Australia, Amerika dan dari Indonesia sendiri memaparkan pikiran-pikiran mereka membahas masa pasca orde baru yang dikenal sebagai zaman reformasi. Kemajuan apa yang berhasil dicapai di bidang reformasi politik dan ekonomi? Apa saja hambatan-hambatan utamanya? Bagaimana identitas agama dan politik kesukuan berkaitan dengan keindonesiaan warganya? Bagaimana pula dengan kesenian rakyat? Pertanyaan-pertanyaan tadi diupayakan dijawab dalam pertemuan di Amsterdam itu. Contoh berhasilKalau harus menunjuk satu keberhasilan pasti dalam 10 tahun reformasi, maka pasti orang akan berbicara dengan Aceh. Aceh adalah keberhasilan yang sama sekali tidak diduga, demikian Ed Aspinall, peneliti Aceh pada Australian National University di Canberra. Ed Aspinall: Menurut saya keberhasilan di Aceh ini betul-betul berarti suatu keberhasilan yang sangat menakjubkan dan iya bisa dikatakan saya rasa sebagai keberhasilan terbesar sejak reformasi ini mulai. Karena merupakan suatu keberhasilan yang sama sekali tak terduga, begitu. Saya sendiri selama meneliti masalah Aceh selama beberapa tahun itu saya tidak pernah berfikir bahwa hasilnya akan sebaik ini. Dan bukan hanya untuk Indonesia tetapi untuk seluruh kawasan Asia saya kira jarang sekali ada proses perdamaian yang begitu berhasil. Di samping masalah yang masih ada, corak wajah Aceh memang sudah lebih baik, lebih hidup dari zaman bencana tsunami dulu. Juga lebih aman dari ketika masih berlaku DOM semasa orde baru. KemiskinanPerekonomian Indonesia zaman sekarang juga jelas lebih baik katimbang 10 tahun silam, ketika krismon meruntuhkan orde baru dan mendongkel Soeharto dari kursi RI1. Tapi bagaimana dengan kebijakan ekonomi pemerintah sekarang? Sudahkah beleid itu bebas dari jejak-jejak orde baru? Anne Booth, guru besar ekonomi pada University of London mencatat sudah sejak 1999 orang mulai optimis dengan perekonomian Indonesia. Tapi pemulihan ekonomi berlangsung lambat. Baru pada tahun 2003 pendapatan nasional kembali seperti tingkat tahun 1996. Tapi jumlah orang miskin ternyata meningkat. Masalahnya adalah apakah peningkatan harga BBM sampai 30% itu bisa dibilang berkaitan dengan upaya memerangi kemiskinan. Memang sudah disediakan bantuan tunai langsung, sesuatu yang tidak dilakukan oleh Soeharto. Tetapi tidak bisa disangkal bahwa penaikan BBM itu adalah resep lama yang dulu sudah berkali-kali dikerjakan oleh orde baru dengan Mafia Berkeley sebagai penentu kebijakan ekonominya. Pemerintahan SBY-JK ternyata tidak kreatif menemukan kebijakan lain yang benar-benar baru, yang hanya mengulang-ulang resep orde baru dulu. Bukankah dengan politik yang lebih bebas dan lebih baik dari zaman Soeharto dulu, SBY-JK seharusnya juga menempuh kebijakan ekonomi yang lain. AhmadiyahMasalah besar lain yang dihadapi oleh SBY adalah soal Ahmadiyah. Kalau di zaman Soekarno dan Soeharto Ahmadiyah tidak diusik apalagi diganggu gugat, bagaimana mungkin sekarang mereka menjadi sasaran tindakan kejam? Noorhaidi Hasan adalah pengamat Islam yang menulis buku Laskar Jihad. Noorhaidi Hasan: Ya bagi saya reformasi mengalami kegagalan dalam paling tidak satu hal yang berhubungan dengan isyu ini. Reformasi gagal untuk memperkenalkan satu mekanisme yang tepat untuk mengatur keragaman keberagamaan, melindungi hak-hak asasi bagi kelompok-kelompok minoritas, kelompok-kelompok yang kecil yang terpinggirkan dan lain sebagainya. Nah, memang ini tidak gampang. Seperti utopi, ide mengelola keberagaman agama itu seperti hanya ada pada dataran yang idealistik. Tapi saya kira tidak juga. Kalau tokoh-tokoh reformasi dan politisi-politisi sadar betul akan ancaman penyeragaman budaya yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok yang lebih konservatif, mestinya mereka harus mencoba untuk duduk bersama, memikirkan bagaimana cara yang tepat agar ekspresi-ekspresi keagamaan, simbul-simbul keagamaan yang hadir di ruang publik tidak merugikan kepentingan masyarakat banyak. Itu agenda bersama yang perlu dipikirkan. Ya, tentu kita tidak mau kembali ke zaman otoriter, mengunci ruang-ruang aspirasai bagi masyarakat banyak. Tetapi juga saya kira ada batas-batas sampai sejauh mana kita bisa terus dengan simbul-simbul agama itu. Kalau toh ternyata malah merugikan kepentingan yang lebih luas kenapa kita tidak berusaha untuk mengaturnya atau mengatakan tidak. Tidak! Terhadap kalangan yang atas nama kebebasan malah justru menyebabkan ketidakbebasan orang lain. Nah, kalangan yang benar-benar bebas pada zaman reformasi ini tak pelak lagi adalah orang Tionghoa. Setelah orang Tionghoa menjadi korban pada Tragedi Mei 1998, kini mereka tidak lagi mengalami penindasan seperti zaman orde baru dulu. Benarkah demikian? Berikut penuturan Tintin Wulia, seorang seniman Bali keturunan Tionghoa Tintin Wulia: Ya, kelihatannya semua orang bisa merayakan Imlek, terus bisa berbahasa Mandarin, ah pokoknya itu jadi euforia juga, gitu ya. Tapi entah kenapa saya rasanya enggak terlalu ada hubungan sama itu. Maksudnya, mungkin juga bagaimana saya dibesarkan, gitu ya. Karena ya selama, dari saya lahir sampai tahun 2000 yang Gus Dur pertama kali memperbolehkan perayaan Imlek, misalnya. Itu waktu cukup lama, dari 1972 sampai 2000 itu, ya, saya merasa itu juga sudah bukan bagian hidup saya. Yang saya alami sekarang itu malah justru masih ada gitu takut-takutnya, terus masih ada penolakan. Maksudnya kalau misalnya saya dibilang Cina. Itu masih ada sesuatu, ada rasa. Jadi sepertinya kok ada diskrepansi antara yang dibilang wah sekarang sudah bebas sekali. Tapi kok saya sendiri, ini betul-betul saya sendiri, itu merasa saya bukan bagian dari itu. Ya, itu ada diskrepansi antara apa yang terjadi di luar yang sepertinya, wah ada Four Seasons kan, waktu itu manggung di Taman Anggrek, merayakan Imlek. Yang pertama kali di kepala saya, saya lihat wah, ini hebat banget, Four Seasons itu katanya Band Indonesia. Tapi saya waktu itu enggak denger waktu itu di Taman Anggrek, saya pikir itu di Singapura. Jadi itu seperti suatu realitas yang tidak berakar di Indonesia. 10 tahun kebebasan setelah 32 tahun ketidakbebasan orde baru jelas masih harus diberi makna supaya artinya benar-benar bisa diresapi. Setelah tiga dasa warsa orde baru orang Indonesia memang harus kembali menemukan keindonesiaannya. Sumber: Radio Nederland Wereldomroep (RNW)Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.comBerita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:www.kabarindonesia.com


PREV Your Comment Download Print
Review Essay / March 2002
Kajian Ekonomi Politik Indonesia pada masa Orde Baru
Vedi R. Hadiz menimbang:
Farchan Bulkin “State and Society: Indonesian Politics Under the New Order, 1966-1978” (Negara dan masyarakat: Politik Indonesia pada masa Orde Baru, 1966-1978) PhD dissertation / University of Washington / 1983 Mochtar Mas’Oed Economi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-71 Jakarta / LP3ES / 1989 Daniel Dhakidae “The State, the Rise of Capital and the Fall of Political Journalism: Political Economy of the Indonesian News Industry”(Negara, munculnya kapital dan kejatuhan jurnalisme politik: Ekonomi politik industri surat kabar di Indonesia) PhD dissertation / Cornell University / 1991
Artikel ini menimbang tiga karya penting ekonomi politik Indonesia yang ditulis oleh sarjana Indonesia pada masa Orde Baru. Karya tersebut memperlihatkan bagaimana langkanya kajian-kajian yang menganalisa kapitalisme dan kelas dengan pisau analisis Marxisme yang memang dilarang selama Soeharto. Tak satu pun dari karya-karya tersebut dipublikasikan dalam bahasa Inggris, walau ketiganya ditulis sebagai disertasi doktor di beberapa universitas di Amerika. Makanya, ketiganya tidak begitu dikenal di luar lingkungan kajian Indonesia. Bagaimana pun salah satu dari karya tersebut telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.
Karya Farchan Bulkin adalah kajian sejarah yang menekankan dasar sosial negara Indonesia, yang berhubungan dengan gejala “kapitalisme pinggiran” dan naik turunnya peruntungan politik “kelas menengah” . Bagi Bulkin, ketiadaan demokrasi di Indonesia adalah karena absennya kelas menengah yang mampu membangun ekonomi nasional. Karya Mochtar Mas’oed berusaha menganalisa masa pembentukan awal Orde Baru berserta struktur politik dan lembaga yang muncul bersamaan dengannya. Dia memberikan penekanan pada hubungan antara kapital internasional dan penguasa militer, intelektual, dan ideologi di Indonesia yang mendukung pembangunan bercorak kapitalis. Karya Daniel Dhakidae yang membuka jalan dalam kajian penerbitan surat kabar Indonesia sebagai industri kapitalis, merupakan kajian berdasarkan data tangan pertama dan penelitian lapangan yang cukup lama. Dhakidae beragumen bahwa kapitalisme industri telah merubah wajah media jurnalisme, yang secara langsung menyebabkan matinya tradisi “jurnalisme politik.”

Diterjemahkan oleh Wahyu Prasetyawan

Talangsari dan Kepahlawanan Soeharto
Ditulis pada Februari 7, 2008 oleh kapasmerah
Sumber: http://www.lampungp ost.com/cetak/ berita.php? id=2008020601271 921
Rabu, 6 Februari 2008OPINI
Fadilasari*
Ketika mantan Presiden Soeharto dirawat di rumah sakit pada 10 Januari 2008, semua media massa seperti saling berlomba mengabarkan ihwal kesehatan sang bapak pembangunan. Setiap media seolah tidak mau ketinggalan menyajikan informasi sekecil dan sedetail mungkin tentang perkembangan kesehatannya, yang sempat naik turun.
Dari sekian banyak pemberitaan soal Soeharto, kebanyakan media hanya membentuk opini publik untuk mengasihani sang jenderal besar yang terbaring gering, terutama media televisi yang selalu mengabarkan detik per detik kesehatan penguasa Orde Baru tersebut.
Saat Soeharto dinyatakan wafat, secepat kilat perhatian media massa pun tertumpah pada peristiwa yang dianggap teramat sangat dahysat tersebut. Media televisi menghapus acara-acara reguler, dan menggantinya dengan berita seputar kematian dan pemakaman Soeharto. Seolah-olah kebutuhan informasi rakyat Indonesia hanya soal Soeharto seorang. Lebih serunya lagi, kisah-kisah keberhasilan Soeharto selama 32 tahun pun diputar ulang siang dan malam di televisi. Media tidak lagi independen karena nyaris tidak mengulas sisi buruk Soeharto yang sarat dengan kekejaman, pelanggaran HAM, dan pembunuh demokrasi.
Belum lagi kisah keberhasilan Soeharto hapus dari media, muncul lagi wacana untuk menobatkan Soeharto sebagai pahlawan. Jelas, rencana itu mendapat tentangan keras kelompok pejuang demokrasi karena dinilai hanya akan menyakiti para korban pelanggaran hak asasi manusia, yang tersebar di Aceh, Tanjungpriok, Talangsari, dan korban-korban peristiwa G-30-S/PKI. Soeharto dinilai tidak layak menyandang gelar pahlawan karena semasa kepemimpinannya banyak sekali pelanggaran HAM dan menewaskan ratusan ribu bahkan mungkin jutaan masyarakat Indonesia.
Di Lampung sendiri, jejak pelanggaran HAM Soeharto yang teramat nyata dan belum selesai hingga kini adalah kasus pembunuhan terhadap komunitas pengajian pimpinan Warsidi di Dukuh Cihideung, Dusun Talangsari III, Kecamatan Labuhan Ratu, Lampung Timur (dahulu masuk Kecamatan Way Jepara, Lampung Tengah).
Menurut data Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), tim investigasi dan advokasi korban peristiwa Talangsari, setidaknya 246 penduduk sipil tewas dihajar senjata aparat pada 7 Februari 1989. Tanggal 7 Februari besok, berarti telah 19 tahun pelanggaran HAM itu terjadi.
Ratusan umat Islam itu dibantai hanya karena mengkritik pemerintah Orde Baru, yang kerap melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jemaah Warsidi mengecam pemerintah yang gagal menyejahterakan rakyat dan gagal menciptakan keadilan. Kemelaratan terjadi di mana-mana. Ekonomi hanya dikuasai kaum elite yang dekat dengan kekuasaan. Hukum tidak berpihak para rakyat kecil. Dalam semua sisi kehidupan baik ekonomi, politik, maupun hukum, pemerintah Orde Baru tidak berpihak pada rakyat. Jemaah Warsidi kemudian menyimpulkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah produk gagal.
Kritik yang digencarkan “pada masa yang tidak tepat” itu langsung membuat penguasa Orde Baru tersulut emosinya. Pendekatan kekuasaan pun dilakukan, dengan menghabisi komunitas tersebut. Jemaah Warsidi ditembak dan sebagian dibakar hidup-hidup dalam pondok. Kebanyakan yang dibakar hidup-hidup adalah wanita dan anak-anak. Mereka yang selamat kemudian dipenjarakan.
Orde Baru memang pemerintahan yang antikritik. Jangankan komunitas pengajian di perkampungan macam Talangsari, kaum intelektual dan mahasiswa pun dijebloskan ke bui. Mereka dituduh menghina kepala negara. Kritik dianggap distruktif yang hanya akan mengganggu proses pembangunan. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi telah membunuh partisipasi publik dalam berdemokrasi.
Setelah Soeharto tiada, bukan berarti peristiwa pelanggaran HAM itu dihapus begitu saja. Momen itu justru menjadi harapan bagi korban pelanggaran HAM untuk mendapatkan keadilan, yang selama ini terbenam dalam jubah kebesaran The Smiling General. Kini, harusnya membawa kasus itu ke pengadilan HAM menjadi relatif lebih mudah karena pengambil keputusan tertinggi dalam peristiwa tersebut telah tiada. Bagaimanapun pelaku pelanggaran HAM bukan Soeharto seorang. Melainkan juga para pengambil keputusan (decision maker) lainnya dan pelaku di lapangan, baik sipil maupun militer.
Walaupun begitu, mengadili pelaku pelanggaran HAM tetap akan diadang berbagai kendala. Menurut Mahfud M.D., menyelesaikan kasus pelanggaran HAM pasti menemui kendala teknis prosedural dan kendala politis. Persoalan prosedural menyangkut Undang-Undang Pengadilan HAM yang belum secara tegas mengatur proses dan tata cara pelaksanaan pengadilan HAM berat. Sedangkan kendala politis terkait dengan banyaknya tangan-tangan kuat yang menghalangi proses hukum pelanggaran HAM.
Kendala politik merupakan persoalan yang lebih serius dibanding dengan masalah teknis prosedural. Banyak pejabat penting di birokrasi pemerintahan yang secara langsung maupun tidak terlibat pelanggaran yang dilakukan rezim Orde Baru. Sistem yang dibangun Orde Baru telah memaksa banyak pejabat masuk jebakan sistem yang menyeretnya dalam kasus pelanggaran HAM. Mereka kini masih tersebar di berbagai instansi atau lembaga negara di tingkat pusat maupun daerah.
Hal yang terpenting dari sebuah pengadilan HAM adalah rehabilitasi nama baik dan memberikan hak para korban. Sampai kini para korban peristiwa Talangsari masih hidup dalam stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Komunitas Antipemerintah atau Islam PKI. Mereka terus menanggung beban sosial di masyarakat, dan tidak mendapatkan hak sebagai warga negara.
Seperti kisah seorang guru agama di Lampung Timur, yang ditangkap saat akan berangkat mengajar ketika aparat “membersihkan” gerakan Talangsari, pada 9 April 1989. Setelah 15 bulan ditahan, tidak ditemukan kaitan antara si bapak guru dan peristiwa Talangsari. Ketika kembali mengajar, dia hanya menerima separo gaji hingga pensiun pada 2005, dan tidak pernah mendapat kenaikan pangkat baik.
Tragisnya setelah pensiun, guru sekolah dasar itu tidak pernah mendapat tunjangan pensiun seperti pegawai negeri sipil pada umumnya. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menggapai hak, tapi hingga kini masih mentok.
Usulan yang menginginkan Soeharto dinobatkan menjadi pahlawan pasti akan ditolak para korban pelanggaran HAM. Logikanya, bila sang mantan Presiden dikukuhkan sebagai pahlawan, para korban pelanggaran HAM tetap dipandang sebagai “kaum pemberontak” atau GPK seumur hidup. Karena apa yang dilakukan pahlawan semasa hidup pastilah sudah benar. Penobatan sebagai pahlawan juga akan mempersulit aparat kejaksaan yang ingin mengembalikan uang negara yang sudah dikorupsi keluarga Soeharto dan kroni-kroninya. (Cukup Soeharto bergelar Bapak Pembangunan karena pada masa Orde Baru ekonomi dan pembangunan cukup baik).
Wacana itu juga akan berdampak pada para pelaku pelanggar HAM yang masih hidup. Status pahlawan bagi Soeharto akan menjadi tempat berlindung yang empuk bagi mereka dari kejaran hukum sehingga pengadilan HAM pun bakal menemui jalan buntu. Pembunuhan yang dilakukan pada masa lalu pun akan terus dislogankan sebagai upaya untuk menciptakan stabilitas nasional atau menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kepergian Soeharto seperti yang disiarkan media massa memang teramat syahdu. Dia telah meninggalkan pelajaran yang tak lengkap bagi penegakan hukum. Namun kita yang masih hidup tentunya tidak boleh membunuh optimisme bahwa satu saat dewi keadilan pasti menampakkan dirinya.
Bila hukum bagi pelaku pelanggar HAM tidak ditegakkan, peluang terjadinya kejahatan HAM seperti pada masa lalu akan mudah terulang. Jangan sampai penegakan hukum di negara ini terus seperti menari poco-poco–meminjam istilah mantan Presiden Megawati Soekarnoputri- -satu langkah maju, satu langkah mundur. Dua langkah maju, lalu mundur pun dua langkah.
*Penulis Buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung.

Visualisasi Kepahlawanan Pemuda Dalam Menorehkan Tinta Emas
Desember 1st, 2007 by indramm
Semangat membara setelah kemerdekaan Republik Indonesia telah terlihat dari seberapa besar semangat para pemuda dalam mengisi kemerdekaan di masa sekarang. Semangat haruslah selalu terjaga dengan baik karena itulah modal dasar bagi pencapaian tujuan bangsa dan negara. Kobaran semangat perjuangan telah meledak besar dalam perjuangan para pemuda bangsa dalam merebut kemerdekaan dari tangan-tangan penjajah yang haus akan kekuasaan. Ledakan semangat itulah yang membuat para pemuda dan pahlawan memiliki dasar perjuangan yang tinggi demi tanah air tercinta. Luapan emosi dan pantang menyerah selalu menghiasi wajah perjuangan para pejuang di medan perang sebelum Indonesia mencapai kemerdekaan sejati.
Sekarang setelah Indonesia merdeka maka pejuang sekarang bukanlah orang-orang yang melawan kekejaman para penjajah dengan senjata tetapi pejuang yang mampu berkarya emas dan menorehkan tinta emas pada lembaran sejarah Indonesia dalam mengisi kemerdekaan. Perjuangan sekarang bukanlah perjuangan yang berbentuk fisik tetapi cenderung dalam perjuangan dalam sikap batin dan diwujudkan dengan karya nyata di kehidupan masyarakat.Kenyataannya di masa sekarang semuanya telah terbalik dengan apa yang dicita-citakan oleh pendahulu kita dalam mewujudkan Indonesia yang sejahtera, adil , dan makmur.Ini dapat dilihat dari banyaknya angka kejahatan yang terjadi di Negara Indonesia yang dari tahun ke tahun selalu menunjukkan kenaikan yang tajam dan yang lebih memprhatinkan adalah banyaknya kasus kejahatan itu dilakukan oleh kaum muda.Sungguh suatu keprihatinan yang mendalam bagi Negara berkembang seperti Indonesia dalam mendidik kaum mudanya yang mengemban tugas sebagai generasi penerus bangsa tidak dapat membina para tulang punggung negara.
Pemuda yang seharusnya dapat menjadi generasi penerus bangsa dan penengah pemikiran ide tentang masa depan negara harus berkutat di dalam penjara karena masalah kasus pencurian, perampokan, narkoba, pembunuhan, pemerkosaan, dan pemerasan. Itu sebenarnya tidak perlu terjadi dan mengenai generasi muda bangsa Indonesia jika generasi muda mengerti benar peranan dan betapa berartinya mereka bagi kemajuan bangsa dan negara.Kaum muda tidak mengerti peranan mereka karena mereka telah salah menilai suatu sikap dan terpengaruh oleh lingkungan yang buruk. Kebiasaan mencoba sesuatu hal yang baru tanpa dipikir masak-masak adalah salah satu sikap kaum muda yang ambisius tetapi ceroboh. Kecerobohan ini membuat pemuda menjadi tidak mengerti dampak yang ditimbulkan. Seharusnya mereka telah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk tetapi karena terbawa arus lingkungan yang buruk maka mereka menjadi buta akan hal itu. Keadaan ini jelaslah berbeda dengan semangat para pemuda sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia karena mereka memiliki visi dan misi yang sama yaitu merebut kemerdekaan. Zaman setelah kemerdekaan harusnya lebih mudah karena pemuda hanya dituntut untuk dapat mengisi kemerdekaan dengan segala hal yang berbau positif. Kenyataan ini haruslah memudahkan pemuda karena mereka hanya perlu berkarya di segala bidang baik akademik maupun non-akademik dalam bentuk pengaplikasian pengisian kemerdekaan dan tidak perlu berjuang secara fisik apalagi sampai mempertaruhkan nyawa.
Banyak hal yang dapat dilakukan oleh kaum muda zaman sekarang.Kegiatan itu juga harus mendatangkan manfaat bagi diri sendiri, orang lain, dan masyarakat bukan yang justru mengganggu dan melanggar Hak Asasi orang lain.Kita sebagai remaja yang baik dapat memulai kegiatan dari lingkungan keluarga kita sendiri seperti merapikan kamar,menata ruang dan taman.Ini adalah bentuk rasa perhatian kita dan rasa sayang kepada kedua orang tua kita yang mendidik kita hingga besar. Kepedulian walaupun sedikit,itu sudah membuat senang kedua orang tua.Selanjutnya, setelah dalam lingkungan keluarga maka pemuda diharapkan dapat menambah pergaulan di lingkungan masyarakat sekitar dengan aktif di organisasi pemuda dan menjadi suri tauladan bagi masyarakat sekitar. Syukur-syukur dapat bermanfaat untuk orang lain misalnya kerja bakti, siskamling ,dan pengajian.Pada event kampus, jadilah mahasiswa yang aktif dan kritis dalam kuliah.Jangan lupa pengalaman organisasi sangatlah penting.Masa muda adalah masa dari pengembangan diri secara maksimal tetapi terarah.Kegiatan seperti seminar,study tour,workshop, dan diskusi jangan sampai terlewatkan percuma.Jadilah mahasiswa aktif di segala bidang. Seminar, study tour, diskusi, dan workshop sangatlah bermanfaat untuk pengembangan diri kita dan sertifikat itu dapat bermanfaat untuk peluang kita mencari pekerjaan.
Banyak sekali semangat-semangat kemerdekaan yang dapat kita lakukan di zaman sekarang. Keterangan di atas hanya beberapa hal-hal yang dapat dilakukan remaja zaman sekarang dan masih banyak lagi hal-hal yang membuat warna-warni kehidupan remaja kita menjadi berarti dan bermakna. Masa remaja adalah masa yang penting dan janganlah sekali-kali kamu merusak masa remajamu karena ini akan menjadi saksi sejarah yang akan selalu terkenang sepanjang hayat. Lakukanlah hal-hal yang berbau positif dan hindarilah segala hal yang dapat merusak masa remaja kamu.Kita hidup hanya sekali jadi jadilah diri kamu apa adanya tetapi jangan sampai melanggar batas.
4 Responses to “Visualisasi Kepahlawanan Pemuda Dalam Menorehkan Tinta Emas